Film ini diangkat dari novel John Boyne, seorang penulis novel asal Irlandia, dengan judul yang sama. Tanpa menggunakan artis terkenal di dunia internasional, cerita film ini tetap terbangun dengan baik. Tak heran jika film independen ini mendapat pengharagaan dalam BIA (British Independent Award) dan CIFA (Chicago International Film Award).
Vera Farmiga yang berperan sebagai Elsa -ibu Bruno- memenangi gelar aktris terbaik dalam BIA 2008. Sementara sang sutradara, Mark Herman mendapat penghargaan di CIFA di tahun yang sama.
Bagi anda yang belum membaca novelnya, mungkin akan bertanya-tanya apa yang membuat film ini begitu dihargai. Saya menilai, tema yang diusung oleh film ini tidak biasa, perseteruan Nazi dengan Yahudi dari sudut pandang mata anak-anak.
Tokoh utama film berdurasi 93 menit ini adalah Bruno Bruno (Asa Butterfield), seorang anak Jerman berusia delapan tahun. Ia merupakan Ralf (David Thewlis) dan istrinya Elsa (Vera Farmiga). Ralf sendiri merupakan seorang tentara Jerman yang kemudian dipromosikan menjadi komandan sebuah kamp konsentrasi Nazi, Auschwitz.
Keluarga kecil itu pun pindah, dari Berlin ke Auschwitz. Rumah baru mereka pun berada tak jauh dari kamp konsentrasi tersebut.
Tinggal di area kamp konsentrasi, Bruno tidak diperbolehkan untuk menjelajahi bagian belakang rumah atau sekitarnya. Ibunya pun melarang dia untuk melakukannya. Namun, kombinasi dari rasa bosan dan ingin tahu, membuat ia memutuskan untuk pergi mengeksplorasi.
Dia melihat anak laki-laki di sisi lain pagar. Ia merasa gembira, karena ternyata ada anak laki-laki seusianya, Bruno memperkenalkan dirinya, begitupun anak di balik pagar itu. Shmuel namanya, ia seorang anak keturunan Yahudi Polandia, yang dibawa paksa ke kamp konsentrasi beserta keluarganya.
Sejak saat itu, mereka pun menjadi sahabat. Bruno dan Shmuel bahkan berulang tahun di hari yang sama. Mereka pada dasarnya orang yang sama lahir dalam keadaan yang berbeda, salah seorang Yahudi Polandia, yang lain orang Jerman.
Dalam film yang digarap di Irlandia tersebut, Bruno menunjukkan banyak kenaifan. sementara Shmuel tampaknya memiliki pengetahuan lebih tentang lingkungannya. karena ia langsung merasakan penderitaan di kamp tersebut.
Ada satu pesan yang saya tangkap dari kejadian tersebut. Peperangan memang melahirkan penderitaan, tapi tak bisa memutuskan persahabatan. Kita tak bisa membenci orang karena latar belakangnya.
Shmuel bisa saja membenci Bruno karena ia berasal dari Jerman, negara yang memporakporandakan tanah kelahirannya, Polandia. Nyatanya, hal tersebut tidak terjadi. Belakangan, Bruno menggunakan “piyama” yang sama dengan Shmuel. Mereka pun bermain bersama di balik pagar.










Tidak ada komentar:
Posting Komentar