Inilah rel kereta api yang digunakan SS—the Schutzstaffel, skuadron
pengamanan, organisasi paramiliter terbesar di bawah Adolf Hitler dan
Partai Nazi—untuk mengangkut orang Yahudi yang diseleksi dari berbagai
negara di Eropa ke Birkenau antara 1942-1944.
Luas Auschwitz II-Birkenau sekitar 138 kali luas lapangan sepak bola,
10 kali luas kamp utama Auschwitz. Di situlah, pemusnahan massal
terhadap orang Yahudi dimulai tahun 1942 dengan berfungsinya kamar gas
pertama Rumah Merah Mungil. Birkenau berjarak 2 kilometer dari kamp
utama, Auschwitz.
Model kota
Situs konservasi Auschwitz-Birkenau terletak di pinggiran kota Oswiecim, Polandia, sekitar 50 kilometer arah barat Krakow, atau sekitar 312 kilometer selatan Warsawa. Luasnya hampir 200 hektar, terdiri dari 150 bangunan, sekitar 300 reruntuhan dan bekas kamp. Termasuk jejak terpenting sejarah Auschwitz: empat kamar gas dan krematorium di Birkenau, lebih dari 13 kilometer pagar kawat berduri, 3.600 bangunan beton pos jaga, dan 20 hektar hutan gugur. Kamp konsentrasi terbesar bermodel kota itu dibangun Nazi dengan menggusur 1.200 rumah di delapan desa.
Szymon Filapek (34) memandu kami memasuki bekas-bekas barak berisi
sisa barang-barang pribadi korban di dalam kotak kaca di dinding, maket
proses pemusnahan, dan kamar gas yang membuat bergidik karena masih
pekat oleh aura kematian.
Rumah Komandan I Auschwitz, Rudolf Hoess, tampak masih terawat.
”Mereka hidup normal. Keluarganya tak tahu yang terjadi di balik
tembok,” ujar Filapek.
Situs Auschwitz-Birkenau dikunjungi lebih dari 1,6 juta orang per
tahun. Pengunjung dan rombongan anak sekolah berjalan dalam diam.
Keheningan mencekam, membuat suara pemandu terdengar berbisik dan
gesekan sepatu dengan daun kering terasa berisik.
Refleksi
Rasanya mimpi bisa menapak pusat pemusnahan yang menjadi telaah berbagai kajian tentang holocaust. Meski pernah mengunjungi Museum Holocaust di beberapa kota di AS dan Eropa, juga Museum dan Pusat Riset Holocaust Yad Vashem di Jerusalem, suasana rasa di Auschwitz-Birkenau sangat berbeda.
Di situlah, sedikitnya 1,1 juta orang Yahudi—dari lebih dari enam
juta korban—ditambah 200.000 warga Polandia, Gypsy, tahanan perang
Soviet, dan lain-lain tewas dengan cara mengerikan.
Kisah calon korban dijejal seperti ternak di gerbong-gerbong tertutup
dengan bau klorin menyengat sudah banyak dibaca dan ditonton lewat
film, baik dokumenter maupun berdasar kisah nyata. Pun bagaimana seleksi
menjadi pekerja atau kelinci percobaan para dokter SS dilakukan. Yang
dianggap ’tak berguna’ dan ’bersalah’ tewas dalam hitungan detik oleh
uap Zyclon B, hasil senyawa udara dengan granul sianida di kamar gas,
atau dibiarkan kedinginan dan kelaparan sampai tewas.
Filapek mengulang kisah itu di jantung peristiwa kekejian, yang
bentang suasananya membuat nyeri di dada, meninggalkan perasaan kosong
yang tak bisa diuraikan dengan kata-kata.
Namun, narasi besar itu, betapapun, menghilangkan narasi-narasi
sejarah personal banyak survivor. Dalam narasi besar, pengertian bangsa
sangat otoritatif, karena hanya ada dua peran: pelaku yang kejam dan
korban yang tak berdaya.
Polaritas yang menyulitkan proses rekonsiliasi personal maupun
sebagai bangsa itu dipatahkan, antara lain, oleh narasi Wladyslaw
Szpilman, warga Yahudi Polandia, dalam The Pianist (2003). Szpilman
mengungkap diskriminasi di komunitas Yahudi, termasuk pemilihan atas
dasar kelas dan status sosial untuk dikorbankan lebih dulu.
Szpilman juga menulis, pada saat-saat paling kritis dalam
pelariannya, ia diselamatkan Kapten Wilm Hosenfeld, tentara Jerman yang
sebenarnya seorang guru. Namun, Szpilman gagal menyelamatkan Hosenfeld
setelah Jerman kalah perang.
Di Yad Vashem, Jerusalem, tercatat 16.000 orang Arya (Jerman) yang
dikenang di antara 400.000-an orang Polandia yang bertaruh nyawa untuk
menyelamatkan orang-orang Yahudi.
Dalam wawancara dengan Oprah Winfrey, November 2000, Elie Wiesel,
survivor, ilmuwan, penulis, penerima Nobel Perdamaian 1986, menegaskan,
”Saya tidak percaya pada kesalahan kolektif. Anak pembunuh bukan
pembunuh. Mereka berhak mendapat cinta saya. Banyak murid Jerman saya
sangat cerdas dan penuh welas asih.”
Sejarah gelap itu tampaknya masih membebani Jerman. Warga
Yahudi-Jerman mendapat sejumlah privilese di Jerman. Meski punya
persoalan dengan imigran, khususnya dari Turki, kebijakan imigrasi
Jerman paling kondusif di Eropa.
Mengusik
Bayangan tumpukan 80.000 sepatu korban, sekitar 3.800 koper dan tas dengan 2.100 label nama, tak bisa dihalau. Gundukan 2 ton rambut perempuan di Auschwitz bergeming. Tuturan Filapek tentang belasan ton rambut yang ditemukan di pabrik tekstil saat investigasi kekejian Nazi setelah Jerman kalah perang terus bergema.
Namun, debu masa lalu dari Auschwitz-Birkenau juga yang mengusik saya
pada konteks kekinian pernyataan filsuf Yahudi, Emmanuel Levinas,
tentang ’kebangkrutan moralitas’, menyusul tragedi pemusnahan massal di
Auschwitz-Birkenau.
Pertanyaan, ”bagaimana Israel menabrak nurani moral etisnya yang
diyakini menjadi ciri keyahudian setelah Auschwitz, dengan
serangan-serangan brutalnya ke wilayah Palestina” menjadi permenungan Dr
Armada Riyanto SJ, Direktur Sekolah Tinggi Filsafat Widya Mandala,
Malang, yang bertahun-tahun melakukan riset tentang holocaust.
”Auschwitz tak benar-benar menjadi masa lalu,” kata Armada, ”Pemusnahan oleh perang dan kebencian masih terus terjadi….”







Tidak ada komentar:
Posting Komentar